Jumat, 12 September 2008

Fisika dan Komik Sama Asyiknya Berita Terkini

FISIKA DAN KOMIK SAMA ASYIKNYA

FISIKA DAN KOMIK SAMA ASYIKNYA

Tim Olimpiade Fisika Indonesia yang terdiri atas delapan remaja SMA ini berhasil menjadi Juara II Asian Physic Olympiad atau APhO di Universitas Al Farabi, Kazakhstan, akhir April lalu.Alih-alih memenangkan lomba fisika tingkat dunia, bagi sebagian orang, mendengar rumus fisika saja sudah membuat dahi mengernyit.

Hal yang otomatis muncul di benak adalah sosok-sosok serius yang menghabiskan waktu dgn mengerjakan soal-soal fisika.Mereka suka menghafal rumus-rumus yang jlimet atau melakukan serangkaian percobaan fisika.

Namun, begitu mengenal beberapa peraih juara lomba fisika itu, gambaran tersebut langsung terpatahkan.Bahkan, mereka jauh dari stereotip anak pintar yang selalu menggotong-gotong diktat tebal ke mana pun pergi, berkacamata tebal, atau berpenampilan culun.

Seperti kebanyakan remaja, mereka hobi bermain Playstation, bermain musik, membaca komik, bahkan menonton film kartun.Sianita Tanto (51), ibu dari Pangus Ho (16), pemenang medali emas pd APhO bercerita, "Pangus paling senang baca komik.Kalau sudah baca komik Doraemon, dia bisa tertawa terbahak-bahak.Bacanya juga tidak cukup sekali, pasti diulang- ulang.Setiap kali baca ulang, dia terbahak-bahak lagi."

Begitu juga dgn Irwan Ade Putra (16) yang juga menyabet emas dalam APhO.Setiap hari dia pasti mencari lawan bermain catur atau Playstation.Novriady, adik Irwan, menjadi orang yang paling sering dijadikan lawan.Kedua kakak-beradik ini memang amat dekat hubungannya.

Jika mereka bertemu setelah seharian berpisah karena harus sekolah, keduanya selalu terlibat obrolan dgn bahan pembicaraan yang sepertinya tak pernah habis.Dari duet main game, mereka akan membahas tentang film kartun sampai tentang pelajaran di sekolah.

Sementara Musawwadah Mukhtar (16), yang memperoleh penghargaan Honorable Mention pd ajang yang sama, memang bukan anak yang hobi keluyuran.Namun, dia tetap bergaul seperti remaja lainnya.Hanya saja, kesukaan dia membaca buku relatif lebih besar dibandingkan dgn umumnya remaja sebaya.

"Musawwadah senang membaca, ini sudah sejak dia masih kecil.Pemicunya ketika dia mendapat buku pintar dari salah seorang saudara.Mungkin, ketika membaca buku itu, dia merasa asyik sekali sehingga sejak itu dia terus senang membaca.Kamus dan ensiklopedia juga dia baca," kata Dewi Agustina (39), ibu Musawwadah.

Keluarga sederhana

Anggapan sebagian orang bahwa anak-anak cerdas berasal dari keluarga berada, karena sejak kecil mendapat asupan gizi lengkap dan punya berbagai fasilitas, tidak berlaku bagi ketiga sosok tersebut.Mereka memang tidak bisa disebut miskin, tetapi juga bukan berasal dari kalangan berada.

Musa, ayah Musawwadah, bekerja sebagai pegawai di perusahaan obat Kimia Farma.Sebelum bekerja di tempat tersebut, Musa sempat bekerja sebagai loper koran.Ketika Musawwadah ingin masuk SMAN 78 Jakarta Barat, Dewi sempat khawatir.

"Saya lebih senang Musawwadah masuk SMAN 33 karena lebih murah.Masuk SMA 78 uang pangkalnya Rp 4,5 juta.Saya tidak mampu.Tetapi, guru Musawwadah tetap memaksa dan saya boleh mencicil.Ketika saya baru membayar Rp 800.000, gurunya bilang saya tidak perlu membayar lagi," cerita Dewi.

Untuk memenuhi kegemaran Musawwadah akan membaca, orangtuanya selalu berusaha memenuhi hasrat anaknya itu.

"Kalau Musawwadah sudah minta sebuah buku, ayahnya selalu berusaha mencarikan.Biasanya ayahnya mencari di tukang-tukang loak.Habis, kalau membeli di toko buku, harganya mahal sekali.Belum lama, ayahnya membelikan dia buku fisika seharga Rp 315.000 dari toko buku.Ayahnya sudah mencari ke tukang-tukang loak, tetapi tidak ada.Akhirnya terpaksa beli di toko," cerita Dewi.

Sementara Irwan yang berasal dari SMAN 1 Pekanbaru tinggal di rumah kontrakan berukuran 6 meter x 12 meter, di kawasan Jalan Kapur, Kota Pekanbaru.Rumah petak tempat Irwan tinggal bersih dgn lantai berkeramik.Di dalam ruang tamunya yang sempit, terparkir sepeda motor bebek buatan China.Dua kursi plastik terdesak di dinding, sementara bagian dinding yang lain dipenuhi dua meja belajar sekaligus lemari.Selain itu ada pula mesin jahit dgn tumpukan benang warna-warni di permukaannya.

Ayah Irwan, Tje Leng (42), bekerja serabutan dan lebih banyak menjadi montir di bengkel.Adapun ibunya, Le Hwa (41), menekuni jahit-menjahit dan melayani pelanggan yang memintanya membuatkan baju.

"Seingat saya, kami hanya bersekolah sampai kelas V SD saja," kata Le Hwa tersenyum malu.

Le Hwa mengaku tidak terlalu tahu banyak hal tentang sekolah formal.Namun, dia yakin dgn memberi kesempatan anak-anaknya bersekolah hingga ke jenjang tertinggi, kehidupan mereka akan lebih baik daripd dirinya.

Memberikan kepercayaan

Le Hwa tak bisa menyembunyikan rasa bangganya saat tahu bahwa anaknya berhasil meraih medali emas.Pencapaian ini telah melebihi yang dia bisa bayangkan sebelumnya.Perempuan asal Pulau Bengkalis ini bersama suaminya hanya tahu bagaimana menyekolahkan anak-anaknya saja.

Syukur-syukur kalau mereka bisa memberikan fasilitas penunjang pendidikan, tanpa berharap terlalu muluk.Mereka sengaja hijrah ke Kota Pekanbaru tepat ketika Irwan cukup umur untuk masuk taman kanak-kanak.Pekanbaru menjadi tempat pilihan membesarkan anak, karena kota ini di mata mereka punya kelengkapan sarana dan prasarana pendidikan lebih baik dibandingkan dgn di kota asal.

Bicara tentang menumbuhkan kesadaran belajar pd anak- anaknya, Sianita justru tak pernah memaksa.Menurutnya, kesadaran belajar Pangus tumbuh alami tanpa ada tekanan apa pun darinya.

"Sejak kecil Pangus dan kedua kakaknya sudah saya biasakan untuk bertanggung jawab atas apa yang mereka perbuat.Saya hanya mengingatkan mereka agar tidak lupa belajar.Jika mereka bilang sudah cukup belajar, walau baru 10 menit, ya harus mereka buktikan.Saya bilang kepd mereka, kalau mengaku sudah belajar, berarti nilainya harus baik.Tetapi, jika nilainya jelek, berarti mereka tidak belajar.Untungnya selama ini mereka selalu membuktikan ucapannya," kata Sianita, ibu rumah tangga.

Belajar hanya mereka lakukan di rumah, tanpa mengikuti kursus-kursus tambahan di luar."Sejak Pangus kecil, dia hanya saya panggilkan guru Bahasa MAndarin.Dia tidak mengikuti kursus pelajaran di sekolah karena nilainya juga sudah bagus sejak SD.Untuk Matematika, nilainya selalu 10.Dia jadi juara umum se-kelas I SMAK 3," kata Sianita tentang Pangus, pelajar pd SMA Kristen 3 Gunung Sahari, Jakarta Pusat.

Bahkan, pd hari Minggu atau hari besar, Sianita dan suami menetapkan ini sebagai hari libur dan anak-anak tidak perlu belajar.Biasanya mereka pergi berjalan-jalan atau sekadar makan di restoran.

"Anak-anak juga perlu penyegaran.Jangan disuruh belajar terus.Saya juga tidak mau memanfaatkan liburan untuk belajar sesuatu yang belum diajarkan guru di sekolah.Libur ya libur," ujar Sianita menegaskan.

Ketiga pasang orangtua itu tentu bangga akan prestasi yang dicapai anak mereka.Namun, mereka juga menyimpan kerinduan pd anak-anaknya.Pasalnya, sejak bulan Juni tahun lalu, anak-anak mereka sudah masuk karantina di Jakarta.Anak yang berasal dari luar pulau, seperti Irwan, hanya bisa tiga bulan sekali menengok orangtuanya.

Adapun mereka yang berasal dari Jakarta bisa ditengok orangtuanya setiap hari Sabtu.Setelah selesai merayakan kemenangan ini, mereka harus kembali ke karantina untuk menghadapi olimpiade tingkat dunia.

"Kalau Irwan pulang nanti, kami mau menyambutnya dgn syukuran kecil.Kami sudah kangen sekali dgn dia," tutur Le Hwa.

sumber Fisika dan Komik Sama Asyiknya : Kompas.com
Fisika dan Komik Sama Asyiknya