Jumat, 25 Juli 2008

Catatan Sepakbola Sapto Haryo Rajasa Batu Loncatan dan Alat Kampanye Berita Terkini

CATATAN SEPAKBOLA
SAPTO HARYO RAJASA


BATU LONCATAN DAN ALAT KAMPANYE

CATATAN SEPAKBOLA
SAPTO HARYO RAJASA


BATU LONCATAN DAN ALAT KAMPANYE

Agen pemain, pelatih, dan direktur teknik klub menjadi orang-orang paling sibuk saat klien dan pegawai mereka, bahkan masyarakat awam, justru menghabiskan musim panas dengan berlibur di tempat-tempat tersohor di pelosok dunia.


Di satu sisi, kita boleh merasa iba pada menyurutnya durasi waktu senggang mereka bersama keluarga masing-masing. Namun, pada saat bersamaan, kita juga berhak menghujat keberadaan mereka, yang seolah tak pernah memikirkan dampak perbuatan yang luas itu.


Dengan mengusung kapasitas, prioritas, dan agenda yang berbeda-beda, tiga sosok utama di balik tirai liga ini memiliki target akhir yang bisa dibilang sama. Apa lagi jika bukan untuk menyukseskan sebuah transaksi sakral bernama transfer?


Mulai medio 1970-an, di mana untuk pertama kalinya nilai transfer menyentuh tujuh digit, tatkala Giuseppe Savoldi hijrah dari Bologna ke Napoli dengan bayaran 1,2 juta pound, hingga terukirnya rekor 45,62 juta pound yang melibatkan kepindahan Zinedine Zidane dari Juventus ke Real Madrid pada 2001, makna kata transfer ini tak pernah berubah.


Intinya adalah sebuah aksi secara legal dalam memindahkan hak kepemilikan seorang pesepakbola profesional dari satu klub ke klub lain. Bedanya rentang jarak tiga dekade itu telah memunculkan esensi sampingan yang justru jauh lebih kompleks.


Bagi trio inisiator seperti digambarkan di awal, transfer tak ubahnya sebagai sebuah alat kampanye untuk menggolkan ambisi pribadi. Agen punya kepentingan untuk meraup komisi optimal dari harga fantastis yang ia tawarkan. Ingat kasus agen Robinho, yang mendapat 20 juta euro? Meski dicicil dalam beberapa pembayaran, ini hampir setengah hasil transaksi total senilai 50 juta euro sang bintang dari Santos ke Real Madrid.


Pelatih tentu memiliki goal lain. Sifatnya jauh lebih teknis alih-alih sisi finansial. Bagi para manajer yang diberi kebebasan mutlak dalam membeli pemain, transfer bisa diibaratkan sebagai perjudian nasib mereka. Jika sukses, durasi kontrak dapat diperpanjang. Kalau sebaliknya, pintu keluar sudah menunggu jika pilihan ternyata meleset.


Nasib direktur teknik juga tak jauh berbeda. Hanya, ia punya "obligasi" tambahan untuk mempermulus jalan sang presiden atau calon presiden klub. Lewat bidikan, yang dilanjutkan dengan percakapan, dan ditutup jabat tangan dan penandatanganan kertas kontrak, ia bisa menentukan pucuk pimpinan sebuah klub dalam satu periode ke depan.


Ambil contoh Jorge Valdano. Direktur Teknik El Real ini berandil besar dalam mematri nama Florentino Perez di kursi presidente Santiago Bernabeu. Pasalnya ia sukses melatarbelakangi pembajakan Luis Figo dari Barcelona saat playmaker Portugal itu masih menjadi ikon di Camp Nou.


Kesuksesan era Perez ini berbuntut panjang. Deretan tujuh piala menciptakan citra mengkilap dalam waktu sekejap. Namun, sisi negatifnya juga ikut berperan. Transfer pemain berlabel megabintang ke tim berjulukan Los Galacticos ini ternyata membawa dampak mandeknya regenerasi pemain lokal.


Saat para galactico mulai mengalami penurunan prestasi akibat termakan usia, Perez beserta seluruh jajarannya pun kudu siap angkat kaki sebagai bentuk tanggung jawab atas tuntutan Madridistas, yang selalu haus gelar.


Bagaimana kabar pemain sendiri, yang seharusnya menjadi subyek, bukan obyek, di lantai transfer? Pilihan klub yang tepat secara otomatis bakal menyusun jalan setapak demi keindahan bab penutup dari perjalanan kariernya nanti. Seberat apa pun warisan yang harus ditinggalkan akan terbayar lunas jika ternyata pilihannya tepat.


Sepanjang sejarah perjalanan liga profesional, kita telah melihat berbagai contoh kesuksesan transfer sebagai batu loncatan ke arah yang jauh lebih baik. Tengok bagaimana Figo justru mencapai masa keemasan bersama Madrid dengan Liga Champion 2002.


Begitu pula dengan Andy Cole, yang sudah berada di zona nyaman dan tenteram di Newcastle United, tapi kemudian memilih peruntungan bareng Manchester United. Cole pun mencicipi nikmatnya trofi LC di Old Trafford, hal yang pastinya mustahil ia dapatkan di St. James Park.

Contoh transfer buruk pun ada, bahkan cukup banyak. Salah satunya pilihan Andriy Shevchenko untuk menanggalkan seragam AC Milan, yang ia lalui dengan gelimang gelar termasuk LC, guna berlabuh di Chelsea. Il Tsar tak hanya mengalami penurunan prestasi, tapi juga sepi gelar.


Tiba saatnya bagi kita untuk menantikan akhir dari saga transfer Cristiano Ronaldo. Sejak menjuarai LC bareng United di Moskow akhir Mei kemarin, surat kabar seperti tak pernah berhenti mengangkat rencana kepindahan sang bintang Seleccao itu ke Madrid.


Dengan nilai transfer yang ditaksir 80 juta pound, Ronaldo tak cuma akan membahagiakan diri--mengingat Madrid memang klub idamannya sejak kecil--, tapi juga akan membahagiakan trio inisiator. Pertanyaannya adalah apakah pilihan ini ternyata tepat, dalam arti bintang Cristiano akan semakin berkilau. Atau justru ia akan meredup, secepat meredupnya sinar jajaran petinggi klub yang menggiringnya?

sumber Catatan Sepakbola
Sapto Haryo Rajasa


Batu Loncatan dan Alat Kampanye : BolaNews.Com
Catatan Sepakbola
Sapto Haryo Rajasa


Batu Loncatan dan Alat Kampanye

Megatransfer Kerek Prestasi Instan Berita Terkini

MEGATRANSFER KEREK PRESTASI INSTAN

MEGATRANSFER KEREK PRESTASI INSTAN

Suka atau tidak, transfer terbukti menjadi senjata paling ampuh dalam mengoreksi kinerja sebuah klub yang sedang terpuruk. Paling tidak, tiga klub raksasa dunia, AC Milan, Real Madrid, dan Barcelona, menegaskan kebenaran hipotesis ini.


Il Diavolo Rosso bahkan memprakarsai metode ini jauh sebelum keran batasan pembelian pemain asing dibuka pada 1995, menyusul lahirnya kebijakan Bosman. Pada 1986, tepat setelah akuisisi klub oleh Silvio Berlusconi, Milan sudah jorjoran di lantai bursa.


Berhubung kala itu masih berlaku kuota tiga pemain asing di setiap klub, Berlusconi hanya membeli trio Belanda, Ruud Gullit , Marco van Basten, dan Frank Rijkaard.

Di samping itu, pengusaha yang kemudian menjadi Perdana Menteri Italia ini juga mendatangkan Arrigo Sacchi, Roberto Donadoni, Carlo Ancelotti, dan Giovanni Galli. Efeknya? Di musim perdana, puasa delapan tahun tanpa scudetto terhenti.

Milan merebut trofi dari Napoli, sang juara bertahan. Lebih lanjut lagi, pasukan San Siro arahan Fabio Capello sanggup mengumpulkan empat scudetto, satu Coppa, tiga Liga Champion, tiga Piala Super Eropa, serta dua Piala Interkontinental.


Berbekal sederet silverware ini ditambah kemampuan mereka memenuhi ruang ganti dengan pemain-pemain top, wajar Milan kemudian mendapat julukan Gli Invicibili dan The Dream Team. Well, jelas ada korelasi kuat antara transfer fantastis dengan semaian prestasi!


Hal sama berlaku bagi Madrid. Terutama pada era kepemimpinan Florentino Perez. Sebagai alat kampanye untuk menduduki kursi el presidente, Perez tak hanya bersedia memboyong Luis Figo ke Santiago Bernabeu dengan banderol 37 juta pound, tapi juga membangun sebuah dinasti.

Los Galacticos, begitu media menyebut fenomena transfer gila-gilaan Madrid yang dalam sekejap sukses menyandingkan nama-nama tenar yang sudah ada, macam Raul Gonzalez, Iker Casillas, dan Roberto Carlos, dengan Zinedine Zidane, Ronaldo, dan David Beckham.


Layaknya di Milan, Madrid pun mampu merasakan kenaikan kinerja secara signifikan. Dominasi La Liga yang sempat dipegang Barcelona dan La Coruna bisa langsung mereka ambil alih. Madrid kembali ke jalur juara, meski tak berlangsung lama. Setidaknya setelah mereka meraih tujuh gelar.


Barcelona? Mereka pun memberlakukan kebijakan megatransfer seusai melalui lima musim tanpa gelar . Bersama presiden barunya, Joan Laporta, Barca mencaplok Ronaldinho, Eto'o, Deco, guna merajai kembali La Liga.


Italia-Spanyol-Inggris

Bisa Kikis Identitas


Italia bisa dibilang telah menginisiasi ingar-bingar transfer pemain berkualitas dalam skala besar. Ya, Serie A memulainya tatkala trio Belanda mendarat di AC Milan dan pada saat yang bersamaan Internazionale meraup trio Jerman .


Pascakesuksesan Serie A pada awal dekade 1990-an, yang mampu menciptakan prestasi sekaligus menyedot atensi publik sepakbola seantero bumi, Spanyol menapaktilasi langkah klub-klub Negeri Spageti tersebut pada akhir 90-an dan awal 2000-an.


Pelakonnya jelas Real Madrid dan Barcelona, klub pemilik kantong paling tebal. Selain berlomba menggaet pemain-pemain terbaik dunia, keduanya mencoba mencuri perhatian penggila bola lewat atraksi di rumput hijau yang mereka tawarkan.


Persis seperti Italia, La Liga pun berhasil mendapatkan tujuan mereka. Mengkilap dari segi prestasi antarklub Eropa dan berjaya menjadikan liga domestik mereka sebagai tontonan paling populer di planet bumi, khususnya Benua Eropa dan Amerika Selatan.


Inggris tampak ogah ketinggalan kereta. Bermodalkan kucuran dana melimpah dari pemilik klub anyar, yang ironisnya bukan berasal dari Inggris Raya, EPL mendobrak kemapanan Serie A dan La Liga, baik di aspek prestasi maupun industri.


Namun, dominasi pemain asing sebagai dampak transfer gila-gilaan berimbas pada terkikisnya identitas negeri itu, dalam hal ini timnas. Italia baru meraih trofi Piala Dunia pada 2006, belasan tahun setelah liga mereka mendominasi dunia. Spanyol juga butuh waktu lama sebelum La Fiuria Roja menggapai Euro 2008. Inggris? Hingga kini masih mencari gelar tambahan, yang tak lagi mereka genggam sejak PD 1966!

sumber Megatransfer Kerek Prestasi Instan : BolaNews.Com
Megatransfer Kerek Prestasi Instan

Milik Gelandang Serang Berita Terkini

MILIK GELANDANG SERANG

MILIK GELANDANG SERANG

Milan mengklaim Chelsea meminati Kaka dengan harga 94 juta euro. Real Madrid sadar mereka mungkin harus menembus barrier harga 100 juta euro untuk bisa merekrut Cristiano Ronaldo dari Manchester United. Barcelona bersikeras tidak mau menurunkan harga Ronaldinho dari kisaran 40-50 juta euro.


Tiga peristiwa di atas mempunyai satu kesamaan. Harga tinggi dalam bursa transfer saat ini adalah milik para gelandang serang. Ini mengubah tren lama di mana daftar transfer pemain termahal dikuasai para striker.


Gelandang serang, apalagi yang berwujud fantasista atau yang memiliki kemampuan serbabisa, memang pemain spesial. Bukan cuma bisa memberikan kemenangan kepada tim, permainan pemain-pemain seperti ini juga tidak pernah membosankan. Dengan skill tinggi, mereka adalah penghibur suporter dan penegas keunggulan kualitas klub.


Gelandang serang biasanya juga memiliki pengaruh yang dominan di atas lapangan. Maklum, daya jelajahnya ketika bertanding meliputi hampir semua area lapangan. Pemain-pemain seperti ini mendapatkan porsi sorotan yang sangat besar. Mereka akrab disebut media.


Selain kemenangan di atas lapangan, klub yang memiliki pemain-pemain seperti ini juga bisa berharap mendapatkan pemasukan uang banyak dari ikatan sponsor atau penjualan merchandise. Wajar akhirnya para gelandang serang bisa memiliki harga yang selangit.


Perubahan tren sudah diawali oleh Luis Figo tahun 2000 dan Zinedine Zidane setahun berikutnya. Kedua pemain ini menjadi pemain termahal dunia di eranya masing-masing. Figo dan Zidane dihargai 58,5 dan 76 juta euro ketika dibeli Real Madrid. Jejak mereka sekarang diikuti para juniornya.


"Kaka adalah pemain istimewa. Dia pantas dihargai mahal dan berada di klub terbaik, klub yang mengagungkan keahliannya," klaim Real Madrid ketika menyiapkan dana 50 juta euro untuk merebut Kaka dari Milan musim lalu. Begitu spesialnya Kaka, Milan menolak tawaran Madrid walaupun mereka sedang membutuhkan uang.


Kaka seorang gelandang serang yang komplet. Dia bisa juga bermain sebagai second striker. Ia bahkan pernah diturunkan sebagai penyerang. Ini yang membuat harganya sangat mahal. Klub yang berhasil membelinya seperti mendapatkan dua-tiga pemain bagus sekaligus.


Hal yang sama berlaku pada Ronaldinho dan Ronaldo. Milan sebetulnya membutuhkan seorang striker, tapi mereka yakin masalah mereka di lini depan akan terpecahkan apabila berhasil merekrut Ronaldinho.


Ronaldo sanggup bermain di mana saja asal bukan di lini pertahanan. Sebagai sayap kiri, sayap kanan, gelandang serang tengah, atau bahkan striker. Dengan ketajaman yang ditunjukkan musim lalu, resmilah CR7 menjadi kandidat pemain yang bisa menembus barrier 100 juta euro.


Calon Lain


Selain tiga pemain ini, deretan gelandang serang berharga mahal lain juga menghiasi spekulasi transfer musim panas ini. Playmaker Zenit St. Petersburg, Andrei Arshavin, dipatok 30 juta euro. Pekan ini Zenit baru menolak tawaran terakhir Barcelona sebesar 15 juta euro.


"Transfer Andrei akan menjadi sebuah transfer besar. Zenit tak mau menerima tawaran yang kurang dari 30 juta euro. Zenit dimiliki oleh Gazprom, salah satu perusahaan minyak terbesar di dunia. Soal uang tidak ada masalah. Jadi, mereka tidak perlu menerima tawaran yang rendah," kata agen Arshavin, Dennis Lachter, seperti dikutip oleh situs Goal.com.


Samir Nasri , Rafael van der Vaart , Ricardo Quaresma , Diego , dan Bastian Schweinsteiger juga termasuk ke dalam daftar top rumour. Kalau benar-benar pindah ke klub lain, nilai pemain-pemain ini dipastikan tidak akan kurang dari kisaran 15 sampai 20 juta euro.


Ini masih ditambah Luka Modric , Ederson , Hatem Ben Arfa , dan Deco , yang sudah dipastikan pindah klub. Dari daftar di atas, bisa dibilang transfer musim panas ini memang milik para gelandang serang.


HARGA GELANDANG SERANG DI BURSA 2008

-

Cristiano Ronaldo 100

Kaka 94

Ronaldinho 50

Ricardo Quaresma 34

Andrei Arshavin 30

Rafael van der Vaart 30

Bastian Schweinsteiger 30

Diego Ribas 25

Luka Modric 21**

Amantino Mancini 20

Samir Nasri 16,5

Miralem Sulejmani 16**

Ederson 13,5**

Hatem Ben Arfa 11**

Deco de Souza 10**

Ket.: * = spekulasi/harga pasti dalam juta euro, ** = sudah pindah klub.

sumber Milik Gelandang Serang : BolaNews.Com
Milik Gelandang Serang

Konsekuensi Gaji Besar Berita Terkini

KONSEKUENSI GAJI BESAR

KONSEKUENSI GAJI BESAR

Tenaga-tenaga kerja itu bernama pesepakbola. Layaknya pekerja, kerap kali para pemain menginginkan tempat kerja yang lebih baik. Nah, fulus kebanyakan menjadi alasan pertama perpindahan ke klub baru.


Kaka, bernilai setiap sennya.


Tidak aneh jika pemain memilih tempat kerja alias klub anyar yang menawarkan sesuatu yang lebih dibanding tempat lama. Hal yang ditawarkan itu bisa nonfisik seperti tantangan atau kebanggaan atau fisik seperti trofi atau uang.

Well, benda terakhir tak jarang menjadi faktor pendorong utama. Sama halnya keharusan klub menawarkan gaji yang lebih tinggi lagi kalau ingin menahan bintangnya ke kubu lain. Bayaran baru yang menggiurkan merupakan alat terbaik bagi klub dalam merayu bintang agar mengenakan kostum mereka.


Menjadi tak mengherankan bila dana untuk menggamit dan menggaji pemain menjadi yang terbesar dalam pengeluaran klub, terutama klub besar dan doyan belanja. Dominasi itu sudah terlihat sejak masih dalam bentuk anggaran.

Man. United, misalnya, pada 2003/04 merogoh lebih dari 60 juta pound untuk pembelian dan pembayaran gaji pemain. Musim itu, Setan Merah mendatangkan Cristiano Ronaldo dengan nilai 12 juta pound dari Sporting dan 12,8 juta untuk Louis Saha dari Fulham plus sekitar 11,6 untuk tiga lainnya.

Artinya sekitar 20 juta untuk menggaji para pemain. Jika ada 40 pemain dalam klub tersebut, rata-rata setengah juta pound didapat. Jumlah yang tidak sedikit, bukan?


Kontribusi


Namun, klub sepakbola pascamodern jelas bukan tempat yang memberlakukan kebijakan sama rata. Bintang-bintang berkilau mesti dibayar mahal. Gaji ideal tentu sesuai kemampuan.

Nah, jawaban pertanyaan apakah pemain dibayar terlalu tinggi bisa dilihat dari kontribusi mereka untuk si pemberi gaji. Ricky Kaka menjadi pemain dengan bayaran tertinggi. Milan mengganjarnya 9 juta euro per tahun. Tentu hanya segelintir orang yang menyangkal si pemain bernilai setiap sen untuk I Rossoneri.


Ronaldinho di tempat kedua, juga membayar harga mahalnya dalam beberapa musim awal di Barcelona. Namun, musim kemarin kepantasan gaji gede pemain Brasil ini dipertanyakan. Opini gaji kebesaran pun tak terperikan.

Meski sekarang melempem, klub yang berminat menariknya dari Barcelona, seperti Chelsea atau Milan, bisa jadi tak berani menawarkan uang yang lebih rendah ketimbang pemberian Barca. Susah mengharapkan negosiasi menghasilkan gaji yang lebih kecil.


Kelayakan 7/10 Inggris


Musim lalu, gelandang serang Milan, Ricardo Kaka, menjadi penerima gaji terbesar di dunia. Dari daftar sepuluh besar gaji tergemuk, terdapat fakta yang tak kalah menggelitik, yakni ada tujuh pemain dari tiga klub Premier League Inggris.

Pemerhati sisi finansial olahraga terpopuler ini mungkin berharap liga termahal di dunia itu bersiap mematahkan rekor Kaka. Peluang ke arah sana cukup besar.


Tiga dari tujuh pemain tersebut di antaranya adalah putra asli Inggris. Dua orang Inggris yang bermain untuk Chelsea, Frank Lampard dan John Terry, menempati posisi ketiga dan keempat pemain bergaji tertinggi. Kapten Liverpool, Steven Gerrard, berada di peringkat ke-10.


Lagi-lagi kelayakan mereka menerima bayaran tinggi menjadi persoalan. Melihat torehan 2007/08, di mana Chelski hanya menjadi runner-up di tiga arena, boleh jadi bayaran Terry dan Lamps terlalu mahal. Stevie G. pun demikian karena The Reds tak meraih apa pun musim lalu kecuali jatah ke Liga Champion.


Saat menimbang-nimbang kepantasan, sebuah penelitian dapat menjadi pembanding. The Press Association mengungkapkan bahwa 38 ribu pound adalah gaji ideal per tahun bagi pekerja di Inggris.

Angka ini keluar usai studi menghasilkan kesimpulan bahwa rata-rata orang di negeri Ratu Elizabeth menerima gaji 25 ribu dengan pendapatan ekstra yang dimaui sebesar 13 ribu.

Menarik juga mendapati jumlah ideal bagi kebanyakan orang Inggris itu hanya sedikit lebih banyak dibanding apa yang didapat Terry atau Lampard cuma dalam dua hari kerja. Dari sana, mungkin terasa betapa bayaran para pemain ini sangat tinggi.

Akhirnya, jangan coba mengonversikan pendapatan per tahun para pemain itu ke dalam rupiah dan membandingkannya dengan pendapatan per kapita Indonesia.

sumber Konsekuensi Gaji Besar : BolaNews.Com
Konsekuensi Gaji Besar