Rabu, 10 September 2008

Menuai Listrik di Kampung Energi Berita Terkini

MENUAI LISTRIK DI KAMPUNG ENERGI

MENUAI LISTRIK DI KAMPUNG ENERGI

TAHI sapi satu truk.Ayo, siapa mau? Coba tawarkan kepd ahli biomassa, mereka pasti berebut.Kotoran ternak, sampah, dan berbagai tumbuhan memang telah lama dikenal dapat diolah menjadi energi alternatif untuk berbagai keperluan.Mulai menanak nasi hingga menghasilkan setrum untuk penerangan.

Namun, sejauh ini, biomassa hanya menjadi sumber energi sampingan.Minyak bumi alias energi fosil tetap saja pilihan utama.Tapi kondisi itu mungkin bakal berubah.Tim ilmuan dari Universitas Goettingen dan Kassel/Witzenhausen di Jerman Utara menerapkan biomassa sebagai satu-satunya sumber energi untuk sebuah desa.

Mereka menyebutnya Bioenergy Village alias Kampung Bioenergi.Inilah pilot project pengembangan desa hijau yang seluruhnya bergantung pd energi biomassa."Kampung bioenergi sangat potensial menggantikan energi fosil yang akan habis," kata Dr.Ing.Marianne Karpenstein-Machan, Koordinator Proyek Bioenergy Village, kepd Gatra.

Ya, dunia bakal kehabisan energi fosil kalau umat bumi tidak berhemat.Lihat hasil kajian Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) paling mutakhir tentang kondisi energi di Indonesia.Jika tidak ada eksplorasi baru, menurut kalkulasi ESDM, cadangan minyak kita hanya cukup untuk 18 tahun lagi.Untuk gas 60 tahun dan batu bara 150 tahun.

Karena itu, tim ahli desa hijau itu getol berkampanye ke berbagai negara termasuk Indonesia agar ramai-ramai memakai energi biomassa.Marianne, beserta koleganya, Wakil Presiden Proyek Bioenergy Village, Prof.Dr.Peter Schmuck, selama dua pekan, awal April lalu, melawat ke beberapa universitas ternama di negeri ini.Mulai Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Institut TEKNOLOGI Bandung, hingga Universitas Satyawacana di Salatiga, Jawa Tengah.

Marianne dan Schmuck menilai, saat ini biomassa adalah energi alternatif paling siap untuk diolah."Jumlahnya banyak dan berada di sekitar Anda, dari tumbuh-tumbunan hingga kotoran hewan," kata Prof.Schmuck.

Schmuck dan kawan-kawan telah mengembangkan konsep bioenergi ini sejak Mei 1998.Proyek bioenergi itu menampakkan hasil di Desa Juhnde, Jerman, pd tahun 2000.Kini desa berpenduduk sekitar 800 orang itu sudah bebas listrik dari PLN-nya Jerman.

Untuk memenuhi pasokan listrik dan pemanas warga Desa Juhnde, pabrik butuh tiga sumber energi biomassa.Yakni sebanyak 9.500 meter kubik pupuk kAndang cair, kira-kira 250 hektare hasil panen dari ladang pertanian, dan 300 ton per tahun serpihan kayu.

"Kelihatannya materi yang diperlukan amat banyak.Tapi itu semua bisa dipenuhi," kata Marianne.Misalnya, ribuan kubik pupuk kAndang cair cukup dipasok dari enam peternakan.Begitu juga hasil panen dan kayu yang berasal hanya dari 12%-15% dari ladang pertanian yang ada serta 10% dari hasil tebangan per tahun.Wajar saja, karena Juhnde punya 1.300 hektare ladang pertanian dan 800 hektare hutan.Dari sanalah energi biomassa dipetik.

"Hasil panen dan pupuk kAndang cair tadi seluruhnya diolah dalam tangki fermentasi," kata Marianne.Sebelumnya, panenan itu dijadikan silase (silage) biasanya untuk pakan ternak.Silase adalah adonan fermentasi dari rumput atau tanaman lain, yang disimpan di tempat yang kedap udara dan terawetkan karena adanya zat asam.

Silase bersama pupuk kAndang cair dimasukkan ke dalam tangki fermentasi.Di sinilah terjadi proses anaerobic digestion, pengolahan oleh bakteri tanpa melibatkan oksigen.Proses ini akan menguraikan berbagai materi organik itu menjadi biogas.

Selanjutnya, biogas dialirkan ke mesin CHP (combined heat and power station) untuk diubah menjadi listrik.CHP, biasa disebut cogeneration, berbeda dari mesin pembangkit tenaga listrik umumnya.Mesin biasa membuang panas dari aktivitas generator listrik melalui cerobong pendingin.CHP menggunakan panas itu menjadi pemanas udara di musim dingin.Singkat kata, CHP menghasilkan tenaga listrik dan panas sekaligus.

Hasilnya, menurut Marianne, hanya dari tangki fermentasi saja, tenaga listrik yang dihasilkan mencapai 5 juta kWh.Itu lebih dari cukup untuk memasok kebutuhan listrik Juhne yang hanya 2 juta kWh.Kelebihan pasokan listrik ini juga disalurkan untuk pemanas.Selain itu, sistem pemanas di Juhne masih dibantu oleh pengolahan serpihan kayu yang menghasilkan tenaga 600 kW serta dua tangki pemanas bertenaga 1.500 kW.

Selain mampu memenuhi kebutuhan energi, kata Schmuck, proyek desa hijau ini memiliki segudang kelebihan."Keuntungan pertama tentu saja lingkungan yang lebih bersih dan sehat," tutur Schmuck.Pabrik hijau itu mampu mengurangi 3.300 ton produksi gas karbon dioksida (CO2).Jumlah ini sekitar 60% dari total produksi CO2 per kapita per tahun di Juhnde.

Jika dihitung secara nasional, rata-rata emisi CO2 di Jerman menjadi 4,3 ton per tahun dibandingkan dgn 10,4 ton per tahun pd 2002."Itu artinya, tingkat emisi CO2 per kapita di Jerman lebih rendah sebesar 60%," kata Schmuck.

Kelebihan lainnya, seluruh fasilitas pabrik biomassa adalah milik warga desa sendiri."Aktivitas pabrik dikerjakan oleh koperasi yang dibentuk warga desa," ujar Schmuck.Biasanya proyek energi alternatif merupakan inisiatif pemerintah.Di Juhnde sebaliknya.

Schmuck sejak awal berusaha membujuk warga Juhnde untuk ikut serta dalam proyek desa bioenergi ini.Memang tidak mudah, tapi pelan-pelan mereka akhirnya tertarik juga."Mereka harus terus diberi pengertian, karena sukses proyek ini sangat bergantung pd partisipasi warga," kata Schmuck.

Mereka sering membawa warga Juhnde ke pilot project bionergi Universitas Goettingen."Mereka harus ditumbuhkan motivasinya dgn melihat, menyentuh, mendengar, mencium, kemudian berdiskusi," Schmuck menambahkan.

"Syukurlah, kini setidaknya 70% lebih warga Juhnde tertarik untuk bergabung," kata Schmuck.Warga sendiri yang menentukan wujud organisasi proyek ini.Dari struktur operasional pabrik, pengelolaan panen, sistem pemanas, dan sebagainya.

Setelah proyek desa hijau berhasil, menurut Schmuck, mereka kini kebanjiran order."Puluhan proposal dari berbagai desa di Jerman minta dijadikan kampung bioenergi," ujar Schmuck.Namun tim terpaksa memilih, karena Pemerintah Jerman hanya menyediakan dana untuk lima desa.

Apakah desa-desa di Indonesia tertarik? "Tak ada salahnya mencoba," kata Intan Ahmad, PhD, Dekan Sekolah Ilmu dan TEKNOLOGI Hayati ITB.Dibandingkan dgn Jerman, energi biomassa di Indonesia melimpah ruah.Jenis tanaman dan hasil pupuk kAndang lebih banyak dan beragam.

Beberapa negara juga telah mencoba mengembangkan bioenergi sebagai sumber energi utama."Di Cina tercatat sedikitnya 56.000 rumah telah menggunakan biogas," ujar Intan.Di beberapa kawasan Indonesia, terutama di Jawa Tengah, biomassa banyak digunakan terutama sebagai pengganti minyak untuk memasak.

Namun tentang proyek desa hijau seperti di Jerman yang mampu memproduksi listrik, Intan justru melihatnya lebih cocok diterapkan di kawasan kota."Biomassa itu tak hanya berupa kayu dan hasil pertanian, melainkan juga sampah," kata Intan.Bicara soal sampah perkotaan memang tak ada habisnya."Berapa ton sampah pun bisa kita pasok untuk mesin pengolah energi hijau seperti itu," Intan menegaskan.

Hanya saja, mungkin ada kendala soal dana.Soalnya, investasi total pabrik pengolah biomassa di Jerman itu mencapai 5 juta euro atau sekitar Rp 50 milyar.Toh, menurut Intan, itu tak bakal jadi penghalang besar.Para ahli biomassa di sini bisa saja berupaya menggunakan TEKNOLOGI lebih murah.Yang penting ada kemauan.Jadi, Intan sekali lagi berkata, "Tak ada salahnya mencoba."

sumber Menuai Listrik di Kampung Energi : Gatra.com
Menuai Listrik di Kampung Energi